IDEN
Keselamatan Jiwa Jamaah Haji Adalah yang Utama
20 July 2020

Jakarta, KNEKS - “Keterpaksaan” kata itu lah yang pantas disematkan pada penyelenggaraan haji 1441H/2020M. Pemerintah Indonesia dengan terpaksa mengambil keputusan membatalkan penyelenggaraan haji tahun ini.

Pengumuman pembatalan yang disampaikan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi pada 2 Juni 2020 itu bukan tanpa pertimbangan. Banyak faktor penyebab yang membuat keputusan itu harus diambil.

Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Ramadhan Harisman membeberkan kronologi penyebab pembatalan haji tahun ini.

Faktor yang mendasari kebijakan penyelenggaraan haji 1441H/2020M tidak lain adalah pandemi Corona (Covid-19). Terhitung mulai 27 Februari 2020, Pemerintah Arab Saudi menangguhkan masuknya wisatawan dari penjuru dunia ke negaranya, termasuk wisatawan Indonesia yang ingin umrah.

Meskipun pada saat itu, Indonesia belum melaporkan satu pun penderita Covid-19 di Tanah Air, karena Indonesia baru mengumumkan adanya penderita Covid-19 di 2 Maret 2020.

Kemudian, pada 6 Maret 2020 Menteri Urusan Haji dan Umrah Arab Saudi Muhammad Saleh Benten berkirim surat ke Menag. Inti surat itu adalah meminta Pemerintah Indonesia untuk menunda penyelesaian kewajiban baru terkait musim haji 2020 hingga jelasnya wabah Covid-19.

Kementerian Agama (Kemenag) pun meminta perwakilan di Arab Saudi, tepatnya di kantor urusan haji untuk berkoordinasi dengan Kementerian Haji dan Umrah. Hasilnya, di sana meminta agar Indonesia tidak melakukan pembayaran-pembayaran kontrak atas persiapan haji.

Akibat dari adanya surat 6 Maret 2020 tersebut, beberapa persiapan yang sudah dan sedang dilakukan terkena dampak dari putusan surat tersebut.

“Jika mengacu lagi ke Memorandum of Understanding (MoU) penyelenggaraan haji 2020, yang termasuk harus dipersiapkan adalah penerbangan, akomodasi, konsumsi dan transportasi selama di Arab Saudi,” tutur Ramadhan.

Keputusan itu membuat kontrak-kontrak yang sudah disepakati berdampak. Padahal, proses penyiapan haji sudah dan terus berlangsung di Arab Saudi. Contohnya, tim penyediaan layanan Jemaah haji di Arab Saudi sedang melaksanakan proses pengadaan layanan akomodasi, dan transportasi darat, serta di dalam negeri telah dilakukan kontrak dengan perusahaan penerbangan.

“Tetapi karena ada surat 6 Maret 2020 itu, uang muka untuk penerbangan tidak juga kami bayarkan,” ujar dia.

Pada 16 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menaikkan status Covid-19 sebagai pandemi, bukan lagi endemi. Menyikapi hal tersebut, Kemenag merasa kemungkinan besar penyelenggaraan haji akan berdampak.

Oleh karenanya, Kemenag pada pertengahan Maret 2020 membentuk tim Manajemen Krisis Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 2020 atau disebut Tim Pusat Krisis Haji. Surat Keputusannya ditandatangani Menag di awal April 2020 dan di ketuai langsung Dirjen Haji. Tugas tim ini adalah menyusun dokumen skenario mitigasi penyelenggaraan ibadah haji.

Sampai dengan akhir April 2020, Tim Pusat Krisis Haji telah menyiapkan tiga skenario penyelenggaraan haji 2020 yaitu:

  1. Skenario 1 – Haji normal

Jika Covid-19 cepat mereda, haji dilaksanakan secara normal seperti tahun-tahun sebelumnya dengan kuota haji tetap 100 persen.

  1. Skenario 2 – Haji dengan pembatasan kuota

Maksimal jumlah Jemaah haji yang dapat diberangkatkan sebesar 50 persen dari total kuota nasional mengingat situasi pandemic Covid-19 di Arab Saudi dan di Indonesia masih terus berlangsung. Hal ini ditetapkan dengan pertimbangan adanya kebijakan terkait jaga jarak atau physical distancing.

  1. Skenario 3 – Haji 2020 tidak dilaksanakan atau batal

Ramadhan mengungkapkan hingga pertengahan Mei 2020, Covid-19 masih terus berlangsung, sehingga skenario ini mengerucut menjadi dua skenario, yakni pemberangkatan haji dengan pembatasan kuota atau kemudian penyelenggaraan haji tidak dilaksanakan.

Kemenag melalui Tim Pusat Krisis Haji terus menimbang baik dan buruknya apabila haji tetap dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19.

Pertimbangan tersebut antara lain terkait penerapan physical distancing yang harus diberlakukan di semua sektor.

Ketika diterapkan, physical distancing menjadi persoalan tersendiri, seperti misalnya di asrama haji. Indonesia memiliki 13 asrama haji embarkasi di seluruh wilayah tanah air. Asrama haji paling besar yang terletak di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah dapat menampung empat kloter per harinya.

Jika diharuskan physical distancing, maka maksimum kapasitas asrama haji harus dikurangi sebanyak 50 persen, yaitu hanya menjadi dua kloter.

Persoalan selanjutnya di pesawat. Kondisi perjalanan jamaah haji Indonesia ini beragam waktunya, dari Aceh hingga paling jauh Makassar yang memakan waktu tempuh berkisar 7-12,5 jam. Bila menerapkan physical distancing, pesawat yang biasanya diisi 450 orang untuk Makassar saja, itu maksimum harus diisi 225 orang. Dengan perhitungan 50 persennya.

Persoalan selanjutnya adalah kapasitas pesawat. Kondisi perjalanan jamaah haji Indonesia ini beragam waktunya, dari Aceh hingga paling jauh Makassar yang memakan waktu tempuh berkisar 7-12,5 jam. Bila menerapkan physical distancing, jika pengurangannya 50 persen, pesawat yang biasanya diisi 450 orang maksimum hanya boleh diisi 225 orang.

“Itu pun belum aman. Karena jarak antar orang di pesawat berisi 225 penumpang masih kurang dari 1 meter. Sementara kalau diterapkan jarak aman sesuai dengan aturan (physical distancing) sejauh 1-1,5 meter, berarti maksimumnya hanya pesawat hanya bisa diisi sebanyak 30 persen atau 135 penumpang. Ini juga yang jadi tantangan karena belum tentu ada maskapai yang menyanggupi,” terang Ramadhan.

Kemudian ketika tiba di Arab Saudi. Begitu turun dari pesawat, jamaah lanjut menaiki bus yang rata-rata isinya 45 orang, Namun karena physical distancing bus hanya bisa diisi paling banyak 22 atau 23 orang. Begitupun saat melaksanakan tawaf, menjaga jarak harus dilakukan. Ini menjadi hal yang dipertimbangkan.

Pertimbangan selanjutnya adalah waktu berhaji. Pada umumnya waktu berhaji, termasuk perjalanan, memakan waktu 42 hari. Akan tetapi, jika mengacu pada penerapan protokol COVID-19, maka harus ada alokasi tambahan waktu untuk isolasi atau karantina.

Karantina dilakukan sebanyak tiga kali dengan masing-masing karantina memerlukan waktu 14 hari, yakni ketika sebelum keberangkatan, saat tiba di Arab Saudi, dan saat pulang di bandara. Berdasarkan hal tersebut, total alokasi waktu harus ditambah sebanyak 42 hari, sehingga waktu haji menjadi 84 hari. 

Pemerintah Arab Saudi juga meminta dalam penerapan protokol kesehatan agar setiap jamaah haji mempunyai sertifikasi bebas Covid-19, baik itu dengan proses tes Rapid ataupun Polymerase Chain Reaction (PCR). Hal itu juga menjadi permasalahan, karena kesiapan daya dukung institusi kesehatan untuk menyiapkan tes dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat perlu dipertimbangkan.

Kemenag juga telah melakukan kajian literatur. Dari sejumlah data sejarah yang ada, ditemukan pernah terjadi peristiwa pahit bagi umat Islam terkait pelaksanaan haji di tengah wabah. Salah satunya karena wabah Kolera di Arab Saudi. Pada saat itu, hampir 2/3 jemaah haji yang ada di Arab Saudi meninggal karena wabah tersebut.

Tidak cukup sampai di situ, Kemenag juga berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendapatkan pandangan keagamaan terkait penyelenggaran ibadah haji di masa pandemi.

Dengan kondisi yang sedang terjadi, Kemenag menganggap syarat haji amniyah atau jaminan keamanan dan keselamatan jiwa tidak terpernuhi. Oleh karena itu, dengan berat hati, pada 2 Juni 2020, keputusan untuk pembatalan haji 2020 akhirnya dikeluarkan oleh pemerintah.

“Dengan berat hati pemerintah pada 2 Juni 2020 mengambil keputusan yang paling berat untuk membatalkan haji 2020,” ucap Ramadhan.

Keputusan pembatalan haji tidak ayal menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ramadhan memaklumi reaksi tersebut. Perbedaan pandangan itu lumrah terjadi.

Kemenag sendiri setelah mengumumkan pembatalan haji, hampir setiap harinya melakukan sosialisasi ke kantor wilayah Kemenag di daerah-daerah.

Kepada mereka, Kemenag meminta untuk menyampaikan kepada jemaah haji terkait alasan keputusan ini. Sebagian besar bisa masyarakat memahami pembatalan ini, karena memang situasinya bila dipaksakan tetap berjalan akan sangat berisiko.

Total jamaah haji yang batal berangkat tahun ini adalah sebanyak 221.000 jamaah. Bila dirinci dari jumlah tersebut, berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, ditetapkan bahwa kuota haji khusus besarnya 8 persen dari kuota nasional atau sebesar 17.680 jemaah, sehingga 92 persennya atau sebesar 203.320 jemaah merupakan kuota haji reguler.

Segala kemungkinan komposisi itu sudah ada dibenak Kemenag. Jika di tahun 2021 Pemerintah Arab Saudi memberikan kuota nasional sama dengan tahun ini, maka yang seluruh jamaah haji 2020 akan diberangkatkan dan jamaah 2021 bergeser ke tahun berikutnya. Jika kuota nasional 2021 lebih banyak daripada 2020, maka sisa kuota akan digunakan oleh jamaah 2021. Namun apabila kuota tahun depan lebih sedikit dibandingkan tahun ini, jamaah haji diberangkatkan berdasarkan urutan nomor porsi dan sisanya bergeser setahun ke depan.

Optimalisasi layanan non teller pun didorong sedemikian rupa. Layanan non teller merupakan pelunasan biaya perjalanan ibadah haji tidak datang langsung ke bank, tapi via digital, telepon genggam, komputer. Sehingga ini bisa mengurangi interaksi kerumunan di tengah pandemi dan untuk efektifitas pelayanan.

Materi-materi manasik juga turut dikembangkan. Materi disajikan secara daring sehingga memudahkan akses para jemaah untuk mendapatkannya.

Ramadhan berpesan kejadian pembatalan haji 2020 pastilah memiliki hikmah tersendiri. Manusia itu hanya bisa berencana dan melakukan persiapan-persiapan, tapi keputusan akhirnya dari Allah SWT. Harus disadari takdir itu adalah hak prerogatif Sang Maha Pencipta.

Penulis: Aldi, Andika, Ishmah
Redaktur Pelaksana: Iqbal

Berita Lainnya